Senin, 20 Juni 2011

Pemerintah setengah hati

Pemerintah setengah hati terhadap pendidikan

Pendidikan di Indonesia sekarang ini sudah menyerupai barang jualan yang diperdagangkan dipasaran. Barangkali kata tersebut terlalu vulgar, tetapi itu realitas yang terjadi. Institusi pendidikan zaman ini seakan balapan ditengah perlombaan dan hadiahnya adalah citra. Gelar, sebutan, atau bahkan label yang menandakan citra itu.
Tujuan pendidikan yang selalu diamanatkan oleh undang – undang dasar 1945 seakan menjadi pilihan kesekian dari pilihan yang ada. Pendidikan justru dijadikan barang jualan yang mengekspor para sarjana yang tak berkualitas dan mengimpor calon mahasiswa yang berkemampuan material. Secara jelas dalam UUD 1945 BAB XIII pasal 31 ayat 1 mengenai pendidikan dan kebudayaan bahwa “ Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Namun nyatanya, masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak mampu mengeyam pendidikan sampai perguruan tinggi, bahkan mengenal yang namanya pendidikan saja pun masih banyak di negara ini.
Lucunya lagi, biaya pendidikan makin hari makin mahal. Padahal, anggaran APBN dalam UUD 1945 yang dialokasikan untuk pendidikan sebesar 20% dari APBN. Sebuah kenyataan yang jauh dari harapan. Begitu mahalnya sekarang biaya pendidikan, memaksa orangtua pelajar untuk mencari alternative pembiayaan selain dari gaji dari pekerjaannya. Alternatif tersebut berupa utang, gadai bahkan menjual semua asset kekayaan demi melihat buah hatinya menikmati yang namanya bangku sekolah maupun bangku kuliah.Ironisnya, meskipun biaya pendidikan 20% dari APBN ternyata belum mampu mengatasi masalah akses pendidikan yang merata bagi setiap warga Negara.
Belum lagi ketika kita berbicara masalah kualitas yang diperoleh. Sangat jauh dari yang dibayangkan. Fasilitas pendidikan tidak memadai dan kurang terpelihara. Pada akhirnya yang harus menjadi korban untuk membiayai fasilitas maupun kekurangan – kekurangan yang ada dalam pendidikan adalah masyarakat(orangtua). Sungguh sebuah ketidakadilan. Pemerintah kurang memperhatikan kemajuan pendidikan. Mulai dari program wajib belajar 9 tahun sampai beasiswa ke luar negeri pu ridak maksimal. Banyak siswa yang harus putus sekolah hanya karena tersandung oleh biaya yang sebenarnya bukan sebuah alas an tepat untuk tidak memperoleh pendidikan. Anehnya lagi, pemerintah membiarkan hal itu terjadi Karenabarangkali persepsi yang timbul didal pikiran mereka bahwa pendidikan hanya akan hidup ketika ada segelintir orang yang mampu mebiayai, orang itu bukanlah Negara melainkan pihak – pihak yang tergolong lebih dalam hal materil. Mestinya itu tidak menjadi jaminan bahwa kualitas pendidikan yang akan diperoleh itu kan maksimal. Padahal banyak orang yang tidak memiliki meteri namun memiliki segudang pengetahuan.
Pendidikan yang Nampak dipermukaan lebih cenderung menuju kapitalisasi. Digolongkan ke kapitalisasi karena pendidikan di era ini lebih banyak dinikmati oleh kaum – kaum yang mereka dianggap meiliki segalanya dan mampu mebeli segalanya dengan uang termasuk pendidikan.Amanat kostitusi Negara untuk majukan bangsa dengan kemajuan pendidikan tidak lagi menjadi nilai pokok yang musti diperjuangkan.
Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan pendidikan sekarang ini, survey dan pengawasan secara continue harus terus – menrus dilakukan demi pendidikan yang bermutu dan nerkualitas tinggi.




Amal Khaeran
Ketua Bidang Komunikasi
Himpunan Mahasiswa Pendidikan Akuntansi
Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Makassar
Periode 2010-2011